Selamat datang di situs web resmi kelas RPLCN24! Semester ini, dalam rangka Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), kami mengangkat tema kekayaan budaya Jawa Timur. Kami berfokus pada dua aspek utama: Tari Jaranan yang energik dan penuh semangat, serta miniatur rumah adat Joglo Sinom, yang merepresentasikan keindahan dan kearifan arsitektur tradisional Jawa Timur. Melalui proyek ini, kami berharap dapat mengapresiasi dan memperkenalkan budaya lokal yang berharga serta mengajak pengunjung lebih mengenal ragam budaya Nusantara.
Tari Jaranan adalah salah satu tarian tradisional dari Jawa Timur yang mencerminkan keberanian dan kekuatan para penunggang kuda. Dalam tarian ini, para penari menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lain yang disebut kuda lumping. Mereka menari dengan gerakan yang dinamis, mengikuti irama musik gamelan khas Jawa, yang biasanya terdiri dari gong, kendang, dan alat musik tradisional lainnya.
Tari Jaranan memiliki elemen mistis dan sering kali disertai dengan atraksi ekstrem seperti kekebalan tubuh atau trance, di mana penari tampak kerasukan roh dan mampu melakukan hal-hal di luar kebiasaan, seperti makan kaca atau bara api. Tari ini bukan hanya bentuk hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari ritual yang dipercaya membawa keberkahan dan mengusir roh jahat dari suatu tempat. Tari Jaranan memiliki beberapa variasi, salah satunya adalah Jaranan Kepang yang cukup populer di berbagai daerah di Jawa Timur.
Rumah adat Joglo Sinom adalah salah satu dari banyak jenis rumah adat Joglo yang eksis di Jawa, khususnya Jawa Timur. Secara umum, rumah Joglo merupakan gaya arsitektur khas Jawa yang menurut beberapa orang berasal dari Ponorogo. Ciri khasnya adalah atap yang menyerupai trapesium dengan bagian tengah menjulang tinggi berbentuk limas. Serambi atau teras depan rumah Joglo biasanya lebar, sedangkan ruang tengahnya terbuka tanpa sekat-sekat yang biasanya dipergunakan sebagai ruang tamu.
Sejarah penyebaran rumah adat Joglo berawal di pulau Jawa, saat keraton Surakarta dan Yogyakarta terinspirasi oleh bangunan-bangunan di Ponorogo, karena Ponorogo pada masa itu memiliki peran yang sangat penting bagi keraton-keraton di Jawa. Karena kemiripan budayanya, bangunan ini juga banyak ditemukan di pulau Madura dan Bali.
Joglo Sinom secara spesifik berasal dari daerah Madiun dan Ngawi di Jawa Timur. Kedua daerah ini dikenal dengan arsitektur rumah adatnya yang khas, yang menjadi simbol budaya yang penting bagi masyarakat setempat. Joglo Sinom dari daerah-daerah ini sering kali digunakan dalam berbagai acara adat dan upacara, walaupun umumnya berfungsi sebagai tempat diskusi bagi rakyat atau petinggi desa. Hal ini menggambarkan falsafah orang Jawa yang selalu menjunjung tinggi silaturahmi dan kebersamaan.
Istilah "Joglo" berasal dari kata "jog", yang berarti "rangka" atau "penyangga", dan "lo" yang berarti "ruang" atau "tempat". Kata "Joglo" juga sering kali dikaitkan dengan kata “tajug” dan “junglo” yang mengacu pada bentuk atap yang menyerupai gunung sebagai simbol spiritualitas dalam budaya Jawa. Secara keseluruhan, Joglo merujuk pada struktur bangunan yang memiliki rangka atap yang khas dengan tiang penyangga yang kuat. Sementara itu, "sinom" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "muda" atau "remajakan". Istilah ini mencerminkan sifat dinamis dan kesegaran yang diharapkan dari rumah yang dibangun dengan gaya ini.
Rumah adat Joglo Sinom sendiri merupakan pengembangan dari rumah Joglo dengan ciri khas teras keliling. Ciri khas lainnya adalah dilengkapi dengan 36 saka atau tiang, di mana empat di antaranya merupakan saka guru atau tiang utama. Letak saka guru di rumah adat Joglo Sinom umumnya berada di bagian dalam atau tengah bangunan sebagai penyangga atau penopang atap. Saka guru atau tiang utama bisa dikaitkan dengan falsafah Jawa yang menggambarkan "fondasi kehidupan" atau nilai-nilai utama dalam budaya Jawa, seperti keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan sosial.
Pada bagian atapnya, Joglo Sinom memiliki atap yang dibagi menjadi beberapa bagian dengan tiga tingkatan dan satu bubungan atau puncak rumah. Meski karakteristik atapnya serupa dengan Joglo Hageng, luas Joglo Sinom lebih kecil dibandingkan dengan beberapa jenis Joglo lainnya. Selain itu, setiap bangunan jenis ini memiliki proporsi atap utama yang lebih tinggi dengan tiga sudut kemiringan per tingkatannya. Rumah Joglo pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu pendapa (bagian depan), pringgitan (bagian tengah), dan dalem (ruang utama).
Material utama yang biasanya digunakan dalam pembangunan Joglo Sinom adalah kayu jati berkualitas tinggi dengan harga yang mahal. Kayu ini dikenal kuat, tahan lama, dan memiliki serat alami yang indah, sehingga sangat cocok untuk konstruksi bangunan tradisional Jawa. Selain kayu jati, beberapa komponen mungkin juga menggunakan jenis kayu lokal lainnya yang memiliki ketahanan baik, seperti kayu nangka atau kayu sengon.
Durasi pembangunannya yang lama membuat biaya pembangunan rumah adat ini menjadi semakin meroket sehingga rumah adat Joglo dijadikan sebagai simbol status sosial masyarakat Jawa zaman dahulu, karena memang tidak semua masyarakat Jawa mampu membangunnya.
Sebagai contoh penggunaannya pada bangunan manusia di era modern, Bandar Udara Internasional Juanda di Surabaya, Jawa Timur, mengadopsi elemen desain rumah adat Joglo pada beberapa bagian bangunannya, terutama di area terminal. Atap terminalnya yang berbentuk tinggi dan bersusun menyerupai struktur atap rumah Joglo dengan puncak yang menonjol.
Sangat amat disayangkan bagi rumah adat Joglo Sinom, karena sampai saat ini bentuk warisan budaya tak benda asal Jawa Timur tersebut masih belum diakui oleh UNESCO sebagai milik Indonesia. Sementara itu, jenis rumah adat Joglo yang telah diakui oleh UNESCO hanyalah Joglo Pencu dari Kudus di Jawa Tengah dan Joglo Yogyakarta. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan mengapa kami mengangkat Joglo Sinom sebagai objek rumah adat pada P5 saat ini.
Pada intinya, kami mengajak rekan-rekan dan para dewan juri yang terhormat sekalian untuk setidaknya mengenal bentuk budaya ini. Kitalah sebagai rakyat biasa yang harus memulainya, menunjukkan kepada dunia bahwa masih ada banyak budaya Indonesia yang masih belum dieksplorasi. Dari mana inisiatif pemerintah kalau bukan mulai dari kita sebagai masyarakat biasa? Apakah harus terulang kembali terlebih dahulu kasus angklung tahun-tahun lalu yang diklaim oleh negeri tetangga? Apakah harus dipersengketakan terlebih dahulu seperti yang baru-baru ini, songket? Tentu saja tidak, kan? Maka dari itulah, kita harus mengenal Joglo Sinom ini sebagai salah satu dari budaya bangsa yang jarang dikenal, yang kemudian dari situ, pemerintah terutamanya Kemdikbud dapat mengetahui bahwa kita semua peduli terhadap budaya negeri ini, budaya Nusantara.